lek umak itreng yo berarti umak iso moco postingan iki, khusus postingan iki ayas gak nggawe boso Ngalaman tenang ae yaa,. oke, boso walik an iku boso sing disegani ndek Ngalam.
Ketika saya
pulang ke Malang beberapa hari yang lalu, saya berpikir akan sebuah hal
yang cukup menarik perhatian. Yakni salah satu keunikan khas Malang yang
mungkin belum banyak orang mengetahui proses historisnya. Ya, basa walikan atau yang lazim disebut osob kiwalan oleh kera-kera Ngalam (arek-arek
Malang alias anak-anak Malang). Bahasa yang menjadi alat komunikasi
masyarakat Malang ini menjadi sebuah keunikan tersendiri, dimana
kata-kata yang ada didalamnya menggunakan bahasa Indonesia, Jawa, dan
Madura yang dibalik-balik. Saya akan mencontohkan sebuah frase: “Wah, kampus ayas ipes ilakes, lha kera-kera liyane kilab nang asale. Umak gak ngalup ta?” (Wah, kampus saya sepi sekali, lha arek-arek liyane balik nang asale.
Kamu gak pulang ta?). Bahasa seperti tadi merupakan realitas kehidupan
sehari-hari warga Malang. Dominasi orang Jawa dan Madura dalam struktur
demografis masyarakat kota Malang, sehingga membuat tidak ada
batasan-batasan khusus dalam pembedaan bahasa Jawa, Indonesia, dan
Madura. Bahasa ini menggunakan campuran Indonesia, Jawa, dan Madura yang
beberapa kata dibalik sementara yang lain tidak, hanya untuk kenyamanan
berbicara dan mendengarkan.
Osob kiwalan
ini tidak memiliki aturan khusus dalam penggunaannya, asalkan gampang
diucapkan dan enak didengar sudah menjadi kecukupan bagi bahasa ini.
Tidak seperti basa walikan khas Jogja, yang menggunakan aturan khusus dalam susunan huruf aksara jawa. Membedakan dengan bahasa walikan yang lain, osob kiwalan
memiliki cara yang simpel dan tidak terikat pada suatu bahasa tertentu.
Tradisi pengucapan yang dilakukan secara turun temurun telah membuat
bahasa ini menyebar kemana-mana.
Mulai
tergerusnya bahasa khas ini oleh zaman menjadi alasan tulisan ini saya
buat, guna mengingat kembali kultur lokal warga Malang yang sudah mulai
luntur. Realitas di Malang yang saya temukan adalah kata-kata khas
sinetron yang akhir-akhir ini marak digunakan oleh kera-kera Ngalam, bahkan sedikit kana licek (anak kecil) di Malang yang terbiasa mengucapkan osob kiwalan. Realitas yang membuat saya cukup miris, karena sebagai genaro Ngalam (orang Malang) tentunya tidak ingin local culture seperti ini hilang ditelan bumi dan tidak diketahui oleh generasi selanjutnya.
ASAL MULA
Sejarah osob kiwalan dimulai semenjak zaman agresi militer kedua Belanda ke Indonesia. Bahasa ini sering digunakan oleh para bromocorah (preman) yang memperjuangkan nasib rakyat kala itu. Para bromocorah
ini tergabung dalam Gerilya Rakyat Kota (GRK), sehingga menjadi
kelompok yang ditakuti oleh pemerintah militer Belanda yang menguasai
wilayah Malang pasca agresi kedua. Gerilya Rakyat Kota sendiri pada
mulanya adalah sisa-sisa pasukan Mayor Hamid Rusdi yang gugur ditembak
Belanda pada bulan Maret 1949, mereka masih terus bergerak guna
mempertahankan kemerdekaan.
Pemerintah
militer Belanda menggunakan taktik mata-mata guna menghancurkan Gerilya
Rakyat Kota sampai ke akar-akarnya. Oleh karena itu, tentara NICA
merekrut beberapa orang Jawa yang tinggal di Malang, baik asli Malang
maupun bukan. Dengan adanya orang-orang yang memahami kultur dan bahasa
masyarakat Malang, Belanda berharap akan masifnya informasi yang masuk
mengenai Gerakan Rakyat Kota di Malang. Taktik ini bisa dibilang
berhasil, karena beberapa kali rencana pemberontakan yang dirancang oleh
Gerakan Rakyat Kota selalu digagalkan oleh militer Belanda. Terus
menerus gagal dan mengalami keterdesakan membuat Gerakan Rakyat Kota
mengevaluasi gerakan-gerakan mereka sebelumnya, hingga akhirnya mereka
menemukan kesimpulan bahwa gerakan mereka telah disusupi oleh intelijen
militer Belanda. Sebagai solusi, seorang anggota Gerakan Rakyat Kota
mencetuskan sebuah ide mengenai basa walikan, dimana ada beberapa suku
kata khusus yang selalu mereka update setiap harinya guna mencegah tersalurnya informasi ke tangan pemerintah militer Belanda.
Pria itu adalah Suyudi Raharno, dimana dalam pengembangan osob kiwalan
selanjutnya dibantu oleh sahabat karibnya, Wasito. Penggunaannya yang
fleksibel serta tergantung pada perasaan enak didengar atau tidak, maka
kosa kata yang ada dalam osob kiwalan selalu mengalami
perkembangan dari hari ke hari. Setiap hari selalu saja ada kosa kata
baru yang digunakan. Kata pertama yang keluar dari mulut para anggota
Gerakan Rakyat Kota saat itu adalah “nolo”, itu adalah kata untuk menyebut pasukan Belanda. Masyarakat Malang saat itu menyebut pasukan Belanda sebagai “londho”. Kosa kata “londho” apabila dibalik menjadi “odhnol”,
dan kata tersebut tidak enak didengar di telinga, oleh karena itu para
anggota Gerakan Rakyat Kota sepakat menyebut pasukan belanda sebaga “nolo” (dengan membalik susunan frase “odh-nol” menjadi “nol-odh”, dan disempurnakan menjadi “nolo”). Rasa benci mereka kepada para mata-mata, membuat mereka juga membuat istilah untuk para teliksandi Belanda tersebut, yakni “atam keat”. Kata “atam” diambil dari “mata”, dan “keat” berasal dari kata “taek” (kotoran/tahi). Tujuan para pejuang adalah menyebut para teliksandi Belanda sebagai “kotoran mata” (ketek - dalam bahasa jawa). Begitu juga untuk menyebut polisi, bukan “isilop” yang digunakan, tapi cukup “silup” saja.
Setelah mereka menggunakan osob kiwalan
sebagai bahasa resmi Gerakan Rakyat Kota, maka dapat ditangkaplah
beberapa mata-mata yang kebanyakan menyamar sebagai penjual rokok,
penjual jajanan, dan pelayan warung. Anggota Gerakan Rakyat Kota yang
tidak update mengenai kata-kata baru bisa dicurigai sebagai
mata-mata dari tentara Belanda, karena antar anggota Gerakan Rakyat Kota
sangat menjunjung tinggi rasa persaudaraan dan loyalitas. Dalam
pertempuran-pertempuran selanjutnya keadaan menjadi berbalik, penggunaan
osob kiwalan terbukti efektif guna melawan pasukan Belanda.
Minimnya informasi yang masuk membuat pasukan Belanda kesulitan untuk
menghadang langkah Gerakan Rakyat Kota, hingga akhirnya Malang dapat
direbut kembali oleh pasukan TNI dan Gerakan Rakyat Kota. Sayangnya
dalam sebuah pertempuran, Suyudi Raharno gugur pada pertempuran di Dusun
Genukwatu (kini kelurahan Purwantoro) saat pagi-pagi buta di bulan
September 1949. Sementara Wasito yang membantu Suyudi Raharno dalam
mengembangkan osob kiwalan, juga gugur pada pertempuran sebelumnya di
Dusun Gandongan (kini kelurahan Pandanwangi, Wendit). Saat ini keduanya
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Suropati, Malang.
BAHASA PREMAN
Tahun 70-an
hingga 80-an dianggap sebagai masa jahiliyah kota Malang. Seperti di
kota-kota besar yang lainnya, Malang pun terjangkit virus geng preman.
Pada era tersebut tercatat ada sekitar 20-an geng yang ada di Malang,
semuanya tersebar di kampung-kampung dan desa yang ada di Malang.
Beberapa geng yang terkenal adalah: Arthur (Arek Turen), Arembo (Arek mBunul), Arpol (Arek Polehan), Jodipaness (Jodipan Jess), dan lainnya. Dalam hal komunikasi, mereka mewarisi osob kiwalan dari generasi sebelumnya, dimana saat itu osob kiwalan
merupakan bahasa populer dan bahasa sehari-hari mereka. Tetapi uniknya
antar geng ini memiliki beberapa kata yang tidak dimiliki oleh geng
lain, dimana kelak pada masa berikutnya kosa kata mereka akan menjadi
bagian dalam bahasa Malangan dan osob kiwalan. Beberapa kata tersebut adalah pesi (bohong), nggarong (mencuri), mangkring (makan), korak
(preman), dan lainnya. Selain kata-kata diatas, ketika itu juga mulai
dikenal beberapa kata asing yang tidak jelas dari mana asalnya, tetapi
juga menjadi salah satu kosa kata osob kiwalan hari ini, seperti idrek (kerja), ojir (raijo/uang), oker (rokok), dll.
KEBANGGAAN
Osob kiwalan hari ini tidak sekedar bahasa identitas orang Malang, tetapi juga bahasa kebanggaan arek
Malang. Warga Malang Raya, baik yang berprofesi di kantoran maupun
hanya juru parkir, ataupun mereka para eksekutif yang suka ke luar
negeri maupun pedagang di pasar, semua bangga dengan identitas Arema (Arek Malang) mereka. Dialek Jawa khas Malangan dengan osob kiwalan
menjadi bahasa non-formal dalam kehidupan sehari-hari warga Malang.
Jangan heran apabila di Malang bertebaran kata-kata seperti ongis nade, kera ngalam, kera utab, bahkan nama walikota Malang hari ini pun juga dibalik oleh warga Malang: Inep. Mungkin juga tidak perlu tertawa mendengar kata-kata seperti nakam (makan), ngojob (mbojo/pacaran), ebes (syebeh/ayah), kadit (tidak), umak (kamu), kodew (wedok/perempuan), nganal (lanang/pria), kanyab (banyak), ngalup (pulang), uklam (mlaku/jalan), itreng (ngerti/mengerti), ublem (mlebu/masuk), nawak (kawan), kewut (tuwek/tua), oges (sego/nasi), lecep (pecel), hamur (rumah), sam (mas/kakak laki-laki), adapes (sepeda), libom (mobil), rotom (motor), kampes (sempak/celana dalam), kubam (mabuk), ketam (matek/mati), dan lainnya.
Sumber:sourch
Bukan kiwaLan harus x tapi kiLab an yg Lebih cocok..
BalasHapus