Rabu, 01 Oktober 2014

Budaya Masyarakat Kota Malang

Umak ngerti kota Ngalam a??
lek umak itreng yo berarti umak iso moco postingan iki, khusus postingan iki ayas gak nggawe boso Ngalaman tenang ae yaa,. oke, boso walik an iku boso sing disegani ndek Ngalam.

Ketika saya pulang ke Malang beberapa hari yang lalu, saya berpikir akan sebuah hal yang cukup menarik perhatian. Yakni salah satu keunikan khas Malang yang mungkin belum banyak orang mengetahui proses historisnya. Ya, basa walikan atau yang lazim disebut osob kiwalan oleh kera-kera Ngalam (arek-arek Malang alias anak-anak Malang). Bahasa yang menjadi alat komunikasi masyarakat Malang ini menjadi sebuah keunikan tersendiri, dimana kata-kata yang ada didalamnya menggunakan bahasa Indonesia, Jawa, dan Madura yang dibalik-balik. Saya akan mencontohkan sebuah frase: “Wah, kampus ayas ipes ilakes, lha kera-kera liyane kilab nang asale. Umak gak ngalup ta?” (Wah, kampus saya sepi sekali, lha arek-arek liyane balik nang asale. Kamu gak pulang ta?). Bahasa seperti tadi merupakan realitas kehidupan sehari-hari warga Malang. Dominasi orang Jawa dan Madura dalam struktur demografis masyarakat kota Malang, sehingga membuat tidak ada batasan-batasan khusus dalam pembedaan bahasa Jawa, Indonesia, dan Madura. Bahasa ini menggunakan campuran Indonesia, Jawa, dan Madura yang beberapa kata dibalik sementara yang lain tidak, hanya untuk kenyamanan berbicara dan mendengarkan.
Osob kiwalan ini tidak memiliki aturan khusus dalam penggunaannya, asalkan gampang diucapkan dan enak didengar sudah menjadi kecukupan bagi bahasa ini. Tidak seperti basa walikan khas Jogja, yang menggunakan aturan khusus dalam susunan huruf aksara jawa. Membedakan dengan bahasa walikan yang lain, osob kiwalan memiliki cara yang simpel dan tidak terikat pada suatu bahasa tertentu. Tradisi pengucapan yang dilakukan secara turun temurun telah membuat bahasa ini menyebar kemana-mana.
Mulai tergerusnya bahasa khas ini oleh zaman menjadi alasan tulisan ini saya buat, guna mengingat kembali kultur lokal warga Malang yang sudah mulai luntur. Realitas di Malang yang saya temukan adalah kata-kata khas sinetron yang akhir-akhir ini marak digunakan oleh kera-kera Ngalam, bahkan sedikit kana licek (anak kecil) di Malang yang terbiasa mengucapkan osob kiwalan. Realitas yang membuat saya cukup miris, karena sebagai genaro Ngalam (orang Malang) tentunya tidak ingin local culture seperti ini hilang ditelan bumi dan tidak diketahui oleh generasi selanjutnya.
ASAL MULA
Sejarah osob kiwalan dimulai semenjak zaman agresi militer kedua Belanda ke Indonesia. Bahasa ini sering digunakan oleh para bromocorah (preman) yang memperjuangkan nasib rakyat kala itu. Para bromocorah ini tergabung dalam Gerilya Rakyat Kota (GRK), sehingga menjadi kelompok yang ditakuti oleh pemerintah militer Belanda yang menguasai wilayah Malang pasca agresi kedua. Gerilya Rakyat Kota sendiri pada mulanya adalah sisa-sisa pasukan Mayor Hamid Rusdi yang gugur ditembak Belanda pada bulan Maret 1949, mereka masih terus bergerak guna mempertahankan kemerdekaan.
Pemerintah militer Belanda menggunakan taktik mata-mata guna menghancurkan Gerilya Rakyat Kota sampai ke akar-akarnya. Oleh karena itu, tentara NICA merekrut beberapa orang Jawa yang tinggal di Malang, baik asli Malang maupun bukan. Dengan adanya orang-orang yang memahami kultur dan bahasa masyarakat Malang, Belanda berharap akan masifnya informasi yang masuk mengenai Gerakan Rakyat Kota di Malang. Taktik ini bisa dibilang berhasil, karena beberapa kali rencana pemberontakan yang dirancang oleh Gerakan Rakyat Kota selalu digagalkan oleh militer Belanda. Terus menerus gagal dan mengalami keterdesakan membuat Gerakan Rakyat Kota mengevaluasi gerakan-gerakan mereka sebelumnya, hingga akhirnya mereka menemukan kesimpulan bahwa gerakan mereka telah disusupi oleh intelijen militer Belanda. Sebagai solusi, seorang anggota Gerakan Rakyat Kota mencetuskan sebuah ide mengenai basa walikan, dimana ada beberapa suku kata khusus yang selalu mereka update setiap harinya guna mencegah tersalurnya informasi ke tangan pemerintah militer Belanda.
Pria itu adalah Suyudi Raharno, dimana dalam pengembangan osob kiwalan selanjutnya dibantu oleh sahabat karibnya, Wasito. Penggunaannya yang fleksibel serta tergantung pada perasaan enak didengar atau tidak, maka kosa kata yang ada dalam osob kiwalan selalu mengalami perkembangan dari hari ke hari. Setiap hari selalu saja ada kosa kata baru yang digunakan. Kata pertama yang keluar dari mulut para anggota Gerakan Rakyat Kota saat itu adalah “nolo”, itu adalah kata untuk menyebut pasukan Belanda. Masyarakat Malang saat itu menyebut pasukan Belanda sebagai “londho”. Kosa kata “londho” apabila dibalik menjadi “odhnol”, dan kata tersebut tidak enak didengar di telinga, oleh karena itu para anggota Gerakan Rakyat Kota sepakat menyebut pasukan belanda sebaga “nolo” (dengan membalik susunan frase “odh-nol” menjadi “nol-odh”, dan disempurnakan menjadi “nolo”). Rasa benci mereka kepada para mata-mata, membuat mereka juga membuat istilah untuk para teliksandi Belanda tersebut, yakni “atam keat”. Kata “atam” diambil dari “mata”, dan “keat” berasal dari kata “taek” (kotoran/tahi). Tujuan para pejuang adalah menyebut para teliksandi Belanda sebagai “kotoran mata” (ketek - dalam bahasa jawa). Begitu juga untuk menyebut polisi, bukan “isilop” yang digunakan, tapi cukup “silup” saja.
Setelah mereka menggunakan osob kiwalan sebagai bahasa resmi Gerakan Rakyat Kota, maka dapat ditangkaplah beberapa mata-mata yang kebanyakan menyamar sebagai penjual rokok, penjual jajanan, dan pelayan warung. Anggota Gerakan Rakyat Kota yang tidak update mengenai kata-kata baru bisa dicurigai sebagai mata-mata dari tentara Belanda, karena antar anggota Gerakan Rakyat Kota sangat menjunjung tinggi rasa persaudaraan dan loyalitas. Dalam pertempuran-pertempuran selanjutnya keadaan menjadi berbalik, penggunaan osob kiwalan terbukti efektif guna melawan pasukan Belanda. Minimnya informasi yang masuk membuat pasukan Belanda kesulitan untuk menghadang langkah Gerakan Rakyat Kota, hingga akhirnya Malang dapat direbut kembali oleh pasukan TNI dan Gerakan Rakyat Kota. Sayangnya dalam sebuah pertempuran, Suyudi Raharno gugur pada pertempuran di Dusun Genukwatu (kini kelurahan Purwantoro) saat pagi-pagi buta di bulan September 1949. Sementara Wasito yang membantu Suyudi Raharno dalam mengembangkan osob kiwalan, juga gugur pada pertempuran sebelumnya di Dusun Gandongan (kini kelurahan Pandanwangi, Wendit). Saat ini keduanya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Suropati, Malang.
BAHASA PREMAN
Tahun 70-an hingga 80-an dianggap sebagai masa jahiliyah kota Malang. Seperti di kota-kota besar yang lainnya, Malang pun terjangkit virus geng preman. Pada era tersebut tercatat ada sekitar 20-an geng yang ada di Malang, semuanya tersebar di kampung-kampung dan desa yang ada di Malang. Beberapa geng yang terkenal adalah: Arthur (Arek Turen), Arembo (Arek mBunul), Arpol (Arek Polehan), Jodipaness (Jodipan Jess), dan lainnya. Dalam hal komunikasi, mereka mewarisi osob kiwalan dari generasi sebelumnya, dimana saat itu osob kiwalan merupakan bahasa populer dan bahasa sehari-hari mereka. Tetapi uniknya antar geng ini memiliki beberapa kata yang tidak dimiliki oleh geng lain, dimana kelak pada masa berikutnya kosa kata mereka akan menjadi bagian dalam bahasa Malangan dan osob kiwalan. Beberapa kata tersebut adalah pesi (bohong), nggarong (mencuri), mangkring (makan), korak (preman), dan lainnya. Selain kata-kata diatas, ketika itu juga mulai dikenal beberapa kata asing yang tidak jelas dari mana asalnya, tetapi juga menjadi salah satu kosa kata osob kiwalan hari ini, seperti idrek (kerja), ojir (raijo/uang), oker (rokok), dll.
KEBANGGAAN
Osob kiwalan hari ini tidak sekedar bahasa identitas orang Malang, tetapi juga bahasa kebanggaan arek Malang. Warga Malang Raya, baik yang berprofesi di kantoran maupun hanya juru parkir, ataupun mereka para eksekutif yang suka ke luar negeri maupun pedagang di pasar, semua bangga dengan identitas Arema (Arek Malang) mereka. Dialek Jawa khas Malangan dengan osob kiwalan menjadi bahasa non-formal dalam kehidupan sehari-hari warga Malang. Jangan heran apabila di Malang bertebaran kata-kata seperti ongis nade, kera ngalam, kera utab, bahkan nama walikota Malang hari ini pun juga dibalik oleh warga Malang: Inep. Mungkin juga tidak perlu tertawa mendengar kata-kata seperti nakam (makan), ngojob (mbojo/pacaran), ebes (syebeh/ayah), kadit (tidak), umak (kamu), kodew (wedok/perempuan), nganal (lanang/pria), kanyab (banyak), ngalup (pulang), uklam (mlaku/jalan), itreng (ngerti/mengerti), ublem (mlebu/masuk), nawak (kawan), kewut (tuwek/tua), oges (sego/nasi), lecep (pecel), hamur (rumah), sam (mas/kakak laki-laki), adapes (sepeda), libom (mobil), rotom (motor), kampes (sempak/celana dalam), kubam (mabuk), ketam (matek/mati), dan lainnya.
Sementara untuk menyebut akan etnis, kota, atau wilayah tertentu osob kiwalan juga mengenal ayabarus (Surabaya), arudam (Madura), rajajowas (Sawojajar), oyonid (Dinoyo), nahelop (Polehan), onosogrem (Mergosono), bara (Arab), onet (Cina), ngundab (Bandung), dll. Bahkan begitu bangganya kera ngalam akan osob kiwalan ada yang hingga merubah nama panggilannya dengan walikan-walikan yang kadang cukup lucu. Nama-nama yang biasa dibalik adalah Kidnep (Pendik/Fendi/Effendi), Inot (Toni), Slatem (Slamet), Inod (Doni), Qipot (Topik/Taufik), Trebor (Robert), Iwed (Dewi), Uyab (Bayu), Onter (Retno), Samid (Dimas), Ipon (Novi), Nawi (Iwan), dan Ikul (Lucky)


Sumber:sourch

1 komentar: